Menerapkan Humor dalam Terapi Systematic Desensitization

Systematic desensitization
Systematic desensitization merupakan bentuk terapi perilaku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi ini dilandasi oleh prinsip reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon tertentu yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam pelaksanaannya individu mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap. Terapi ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).

In vivo desensitization (IVD) salah satu bentuk systematic desensitization, namun pada prosedur ini secara bertahap individu benar-benar dihadapkan pada stimulus yang menimbulkan rasa takut (Walker, Clement, dan Wright, 1981, dalam Miltenberger, 2008). IVD lebih tepat diterapkan pada individu yang mengalami kesulitan dalam membayangkan stimulus yang ditakuti (Martin & Pear, 2007).
Terdapat tiga tahap pada IVD, yaitu:
a. Relaksasi Pelatihan
Relaksasi merupakan strategi yang digunakan untuk menurunkan autonomic arousal yang merupakan komponen dari rasa takut dan cemas. Ketika individu takut atau cemas, respon fisiologis yang muncul adalah ketegangan pada otot, detak jantung yang cepat, berkeringat dingin, atau nafas yang tersengal-sengal. Simtom-simtom tersebut merupakan bagian dari autonomic arousal yang muncul ketika individu menghadapi stimulus yang ditakuti. Dengan menggunakan prosedur relaksasi, individu melakukan aktivitas yang berfungsi berlawanan dengan autonomic arousal seperti menurunkan ketegangan otot, menghangatkan tangan, bernafas dengan pelan, dll. Ketika individu melakukan prosedur aktivitas yang berlawanan dengan respon otonomi tubuh, maka ketakutan akan berkurang. Salah satu prosedur relaksasi yang banyak digunakan adalah diaphragmatic breathing deep breathing atau relaxed breathing (Davis, Eshelman, & McKay, dalam Miltenberger, 2008) yang merupakan teknik relaksasi dimana individu bernafas panjang dalam ritme yang lambat dan teratur. Untuk mempelajari diaphragmatic breathing, individu duduk dalam posisi yang nyaman sambil meletakkan tangan di perut yang merupakan lokasi otot diafragma, menutup mata, kemudian menarik nafas dengan lambat sekitar 3-5 detik. Pada saat menarik nafas, individu merasakan pergerakan diagfragma dan memfokuskan diri pada sensasi fisik yang ia rasakan. Hal tersebut juga berguna.agar perhatian individu teralih dari stimulus yang membuatnya tidak nyaman.
b. Hirarki Stimulus yang Ditakuti
Setelah individu mempelajari dan menguasai prosedur relaksasi, terapis dan individu menyusun hirarki stimulus yang menimbulkan ketakutan pada individu. Pertama individu diminta untuk menuliskan berbagai stimulus yang ia takuti. Setelah itu individu memberi rating kecemasan yang bernilai 0-100 pada masing-masing stimulus. Dari daftar stimulus tersebut lalu, terapis menyusun stimulus mulai dari yang menimbulkan rasa takut paling rendah sampai dengan yang paling tinggi
c. Exposure
Setelah hirarki stimulus yang ditakuti tersusun, secara bertahap individu mulai dihadapkan langsung dengan stimulus-stimulus tersebut sambil menerapkan teknik relaksasi yang telah dipelajari. Pada sesi awal, stimulus yang dihadapkan pada anak adalah menimbulkan ketakutan paling rendah. Setelah anak merasa nyaman dan tingkat ketakutannya berkurang, ia akan dihadapkan pada stimulus yang lebih sulit. Demikian seterusnya sampai akhirnya anak dihadapkan pada stimulus yang paling ditakuti.

Humor dalam Terapi Systematic Desentization
Menggunakan humor sebagai psikoterapi menjadi semakin populer (Fry & Salameh, 1987, 1993; Gelkopf & Kreitler, 1996; Kuhlman, 1984; Ventis &Ventis, 1989), tetapi ada sedikit studi empiris menunjukkan manfaat terapeutik yang spesifik. Salah satu studi yang menerapkan humor dalam psikoterapi adalah penggunaan humor dalam systematic desensitization untuk mengurangi rasa takut, seperti yang dicontohkan oleh Smith (1973) dan Ventis (1973).
Smith (1973) menemukan bahwa desentiasi humoris berhasil ketika desentiasi biasa gagal. Ventis (1973) menunjukkan bahwa desentiasi dengan humor efektif hanya dalam satu sesi. Penemuan keduanya dapat ditiru, yang berarti bahwa humor dalam desentiasi memungkinkan lebih efektif daripada desentiasi biasa.


Sumber

Utami, H. A. (2012). Penerapan in vivo desensitization untuk meningkatkan perilaku bersekolah pada anak dengan school refusal behavior (srb). Tesis. Program Magister Profesi Klinis Anak Universitas Indonesia. Depok.

Ventis, W. L. (2001). Using humor in systematic desentization to reduce fear. The Journal of General Psychology. 128(2): 241-253.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel

Kesehatan Mental dan Konsep Kepribadian menurut Gordon W. Allport

Terapi dalam Psikoanalisa, Humanistik, dan Behaviorisme